ini tugas dari kelompok
17
PENTINGNYA SOSIAL PADA ANAK USIA DINI

Perkembangan sosial
merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan social anak usia dini. Dapat
juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma
kelompok, moral, dan tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan yang
saling berkomunikasi dan bekerja sama.
Secara potensial (fitrah) menurut Plato, manusia dilahirkan sebagi mahluk
sosial (zoon politicon). Namun untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus
berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain.
Perkembangan perilaku sosial anak ditandai dengan adanya minat terhadap
aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima
sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas bila tidak bersama
teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain sendiri dirumah atau dengan
saudara-saudara kandung atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota-anggota
keluarga. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa kesepian serta
tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Dua atau tiga teman tidaklah cukup baginya. Anak ingin bersama dengan
kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain
dan berolah raga, dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah
sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi
semakin kuat. Hal ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
a. Sosialisasi pada masa awal masa kanak-kanak
Menurut Hurlock, E.B. “salah satu tugas perkembangan masa awal kanak-kanak yang
penting adalah memperoleh latihan dan pengalaman pendahuluan yang diperlukan
untuk menjadi anggota kelompok dalam akhir masa kanak-kanak”. Jadi dalam masa
kanak-kanak disebut sebagi masa prakelompok. Dasar untuk sosialisasi diletakan
dengan meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari
tahun ketahun. Anak tidak hanya lebih banyak bermain dengan anak-anak lain
tetapi juga lebih banyak berbicara.
Jenis hubungan sosial lebih penting daripada jumlahnya. Kalau anak menyenangi
hubungan dengan orang lain meskipun hanya kadang-kadang saja, maka sikap
terhadap kontak sosial mendatangkan lebih baik daripada hubungan sosial yang
sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Anak yang lebih menyukai interaksi
dengan manusia daripada benda akan lebih mengembangkan kecakapan sosial
sehingga mereka lebih populer daripada anak yang interaksi sosialnya terbatas.
Manfaat yang diperoleh anak dengan diberikannya kesempatan untuk berhubungan
sosial akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesenangan hubungan sosial
sebelumnya. Yang umumnya terjadi pada masa ini adalah bahwa anak lebih menyukai
kontak sosial sejenis daripada hubungan sosial dengan kelompok jenis kelamin
yang berlawanan.
Antara usia dua dan tiga tahun, anak menunjukan minat yang nyata untuk melihat
anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan mereka. Ini dikenal
dengan bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri, tidak bermain dengan
anak-anak lain. Kalaupun terjadi kontak, maka kontak ini cenderung bersifat
perkelahian, bukan kerja sama. Bermain sejajar merupakan bentuk sosial yang
pertama-tama dilakukan dengan teman-teman sebaya.
Perkembangan selanjutnya adalah bermain asosiatif, di mana anak terlibat dalam
kegiatan yang menyerupai kegiatan anak-anak lain. Dengan meningkatnya kontak
sosial , anak terlibat dalam bermain kooperatif, dimana ia menjadi anggota
kelompok dan saling berinteraksi.
Sebagian anak sudah mulai bermain dengan anak lain, ia masih sering berperan
sebagi penonton, mengamati anak lain bermain tetapi tidak berusaha benar-benar
bermain dengannya. Dari pengalaman mengamati ini, anak muda belia belajar
bagaimana anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana perilakunya dalam
berbagai situasi sosial.
Kalau pada masa anak berusia empat tahun telah mempunyai pengalaman sosialisasi
pendahuluan, biasanya ia mengerti dasar-dasar permainan kelompok, sadar akan
pendapat orang lain dan berusaha mendapatkan perhatian dengan cara berlagak
menonjolkan diri. Dalam tahun-tahun selanjutnya ia memperhalus perilaku baru
yang dapat diterima oleh kelompok teman-temannya.
Bentuk perilaku sosial yang berhasil tampak untuk penyesuaian sosial yang
berhasil tampak dan mulai berkembang dalam periode ini. Dalam tahun-tahun
pertama masa kanak-kanak bentuk penyesuaian ini belum sedemikian berkembang
sehungga belum begitu memungkinkan anak selalu untuk berhasil dalam bergaul
dengan teman-temannya. Namun periode ini merupakan tahap perkembangan yang yang
kritis karena pada masa inilah dasar sikap sosial dan pola perilaku sosial
dibentuk. Dalam penelitian longitudinal terhadap sejumlah anak, Wadrop
halperson dalam psikologi perkembangan Hurlock, melaporkan bahwa anak yang pada
masa usia 2,5 tahun bersikap ramah dan aktif secara sosial akan terus bersikap
seperti itu sampai usia 7,5 tahun. mereka menyimpulkan bahwa “sikap sosial pada
masa 7,5 tahun diramalkan oleh sikap sosial pada 2,5 tahun”.
Secepat individu menyadari bahwa diluar dirinya itu ada orang lain, maka
mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogyanya ia perbuat
seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi mahluk sosial
ini disebut sosialisasi.
Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan
untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus
belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini
diperoleh anak melalui kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang
dilingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya ataupun orang dewasa
lainnya.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang
tua terhadap anak dalam mengenal berbagai aspek kehidupan sosial, atau
norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada
anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Proses bimbingan orang tua ini lazim disebut sosialisasi.
Suean Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar
yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat
menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab.
Sosialisasi dari orang tua ini sangatlah penting bagi anak, karena dia masih
terlalu muda dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya
sendiri ke arah kematangan.
Melalui pergaulan anak atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota
keluarga, orang dewasa, dan teman sebaya lainnya, anak mulai mengembangkan
bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada masa anak menurut Syamsu Yusuf,
bentuk-bentuk prilaku sosial itu adalah sebagai berikut :
a) Pembangkangan (negativisme), yaitu bentuk tingkah laku melawan.
b) Agresi (Agresion), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal)
maupun kata-kata (verbal).
c) Berselisih atau bertengkar (quarelling), terjadi apabila anak merasa
tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain.
d) Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari agresif.
e) Persaingan (rivally)
Perilaku kita sehari-hari pada umumnya diwarnai oleh, perasaan-perasaan tertentu,
seperti rasa senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, atau sedih dan
gembira. Beberapa perasaan lainnya adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas,
malu, kecewa benci.
Goleman (1997) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti hubungan
social yang baik. Apabila seseorangdapat menyesuaikan diri dengan suasana hati
individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat
emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan
social serta lingkungannya. Goleman lebih lanjut mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosikonal tersebut, seseorang
dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur
suasana hati.
Selanjutnya, Howes dan Herald (1999) mengatakan, pada intinya, kecerdasan
emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan
emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di wilayah dari
perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila
diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih
mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional
menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan
orang lain dan menggapainya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi
emosi dalam kegiatan pembelajaran, kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Unsur
penting kecerdasan emosional terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola diri
sendiri), kecakapan social ( menangani suatu hubungan), dan keterampilan social
(kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
KESIMPULAN
Perkembangan sosial
merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Pada awal manusia
dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam
berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai
kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang
dilingkungannya.Perkembangan sosial individu dimulai sejak anak usia 18 bulan.
Faktor lingkungan keluarga merupakan faktor yang paling mempengaruhi
perkembangan sosial anak, semakin bagus tata cara keluarga, maka perkembangan
sosial anak juga semakin bagus.
Perkembangan sosial juga sangat mempengaruhi kepribadian anak, anak yang
mempunyai daya intelegensi yang tinggi, perkembangan sosial yang baik pada
umumnya memiliki kepribadian yang baik.
Pentingnya Emosional pada Anak Usia Dini
Sigmund Freud
dalam studi tentang kepribadian mengisyaratkan pentingnya pembentukan struktur
kepribadian pada beberapa tahun pertaa kehidupan. Memahami gejala emosi anak
mendorong berbagai kalangan untuk mengapresiasi kompleksitas kepribadian anak
usia-dini dan nilai ilmiah serta praktis tentang kepribadian individu.
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah “An emotion,
is a affective experience that accompanies generalized inner adjustment and
mental and psychological stired up states in the individual, and that shows it
self in his evert behavior.” Jadi, emosi adalah warna afektif yang kuat dan
ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.
Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan fisik seseorang, seperti:
a. reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona;
b. peredaran darah bertambah cepat bila marah;
c. denyut jantung bertambah cepat bila terkejut;
d. bernapas panjang kalau kecewa;
e. pupil mata membesar bila marah;
f. air liur mongering bila takut atau tegang;
g. bulu roma berdiri bila takut;
h. pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalau tegang;
i. otot menjadi tegang atau bergetar (tremor);
j. komposisi darah berubah dan kelenjar-kelenjar lebih aktif.
(Fatimah, 2006:105).
Menurut Nurihsan (2007) Emosi itu dapat didefinisikan sebagi suatu suasana yang
kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (a stird up state) yang
menyertai atau muncul sebelum/sesudah terjadinya prilaku. Aspek emosional dari
suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variable, yaitu :
rangsanganm yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan
fisikologis yang terjadi bila mengalkami emosi (the organismic variable), dan
pola sambutan ekspresi atas terjadinya pengalaman emosional itu. (the response
variable). Ayang mungkin dapat dirubah dan dipengaruhi atau diperbaiki (oleh
para pendidik atau guru) adalah variable pertama dan ketiga (the
stimulus-response variables) sedangkan variablekedua tidak mungkin karena
merupakan proses fisiologis yang terjadi pada organisme secara mekanis.
Menurut Nurihsan (2007) ada dua dimensi emosional yang sangat penting diketahui
para pendidik, terutama para guru, ialah:
1. senang tidak senang (pleasant-unpleasent), atau suka tidak suka
(like-dislike);
2. intensitas dalam term kuat-lemah (strength-weakness) atau halus kasarnya
atau dalam dangkalnya emosi tersebut.
Hal-hal itu penting karena dapat memberikan motivasi pengarahan dan integritas
perilaku seseorang, di samping pula akan merupakan hambatan-hambatan yang
bersifat fatal.
Nurihsan mengutip pendapat Bridges (2007;154) menjelaskan proses perkembangan
dan diferensiasi emosional pada anak-anak sebagai berikut :
a. Pada saat dilahirkan setiap bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap
rangsangan-rangsangan tertentu (bunyi, cahaya temperature).
b. Dalam periode 3 bulan pertama ketidaksenangan dan kegembiraan mulai
didefinisikan melalui penularan) dari emosi orang tuanya.
c. Dalam masa 3-6 bulan pertama ketidaksenangan itu berdiferensiasi ke dalam
kemarahan, kebencian, dan ketakutan.
d. Sedangkan pada masa 9-12 bulan pertama kegembiraan berdiferensiasi kedalam
kegairahan dan kasih saying.
e. Pada usia 18 bulan pertama kecemburuan mulai dideferensiasikan dari
ketidaksenangan tadi.
f. Pada usia 2 tahun kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan.
g. Mulai usia 5 tahun, ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu,
cemas, dan kecewa; sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke dalam harapan dan
kasih saying.
Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya dimensi-dimensi tersebut
di-reinforcement secara conditioning melalui proses belajar. Oleh karena itu,
tidak mengherankan kalau terdapat siswa-siswa yang membenci atau menyenangi
guru atau bidang studi tertentu, bergantung pada kemampuan guru untuk
menyelenggarakan conditioning dan reinforcement asfek-asfek emosional tersebut.
Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi
perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan berpikir
kritis untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dan menimbulkan
emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menghapal
mempengaruhi reksi emosional. Dengan demikian, anak menjadi rektif terhadap
rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda.
Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan anak. Metode belajar yang
menunjang perkembangan emosi antara lain sebagai berikut.
a. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk
perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan
kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa anak-anak sekolah.
Pada masa balita yaitu sekitar anak usia 1-5 tahun anak-anak melakukan kegiatan
yang bias mengekspresikan emosinya dengan coba-coba sesuai dengan insting dan
nuraninya. Seorang bayi apabila diberikan mainan di depan mukanya dia akan tersenyum
bahkan mulai tertawa dengan suara khasnya, dan terkadang apabila benda mainan
itu dijauhkan atau yang mengasuhnya menjauhkannya maka sang anak menangis
sebagai ekspresi dari kekecewaannya, kemarahannya, dann keinginannya untuk
melihat benda tersebut.
Anak yang sudah mulai bisa bergerak merangkak dia akan mengekspresikan emosinya
apabila dia sedang mencoba berbalik untuk tengkurap. Anak akan mencoba
terus-menerus membalikan tubuhnya, dan ketika dia tidak mampu untuk membalikan
tubuhnya biasanya dia menangis untuk mengekspresikan keinginannya untuk diberi
bantuan.
Sedangkan pada anak yang sudah mulai belajar berjalan dan berbicara yaitu
sekitar umur 1,5 tahun lebih, dia sudah bisa mengekspresikan emosi dirinya
dengan lebih terarah sesuai dengan situasi yang ada disekitarnya.
b. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain,
anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan
orang-orang yang diamati.
Ketika seorang anak melihat anak diatasnya main sepeda, dia akan mengekpresikan
keinginannya dengan mencoba meminjam atau mengadu kepada orang tuanya untuk
membelinya.
Pada anak sudah mulai sekolah dia akan lebih kelihatan dalam menampakan
ekspresi emosionalnya pada rekan yang baru dia kenal disekolah dan guru yang
ada disekolah tersebut. Makanya cara pengajaran yang efektif bagi pendidikan
anak usia dini dan pendidikan dasar adalah dengan cara memberikan contoh,
apalagi pada kegiatan etika seperti membiasakan anak untuk sun tangan pada guru
dan orang tuanya. Dia akan meniru orang tua, guru, kaka kelas disekolah dan
teman-temannya. Ketika orang tuanya sedikit-sedikit marah ketika ada masalah,
atau gurunya juga sering menegur dengan marah-marah, kak kelasnya juga seing
mengejek dan mencaci juga memarahi dia juga teman-temannya, maka anak akan
meniru cara-cara seperti itu untuk mengekspresikan emosinya pada orang lain.
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama
dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak
hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat
dengannya.
d. Belajar melalui pengondisian
Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi emosional
kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah cdan
cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kjurang mampu menalar,
mengenal betapa tidak rasionalnya reksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak,
penggunaan metode pengondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan
tidak suka.
e. Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi
secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak
menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi kemarahannya atau ekspresi lain ketika ia beranjak ke
masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri
yang bersifat individual ini akan memperhalus perasaan merupakan petunjuk
adanya pengaruh yang bertahap dari latihan serta pengendalian terhadap perilaku
emosional.
Pembentukan Prilaku Afektif dan Kepribadian
a. Pengaruh Emosional terhadap Kesehatan
“Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Selogan ini menjadi alasan
pada pembahasan ini, sebab pendidikan tidak berjalan lancar apabila tubuh
pelaku pendidikan tidak sehat.
Perasaan takut atau marah dapat menyebabkan seseorang menjadi gemetar. Dalam
ketakutan, mulut menjadi kering, jantung berdetak cepat, aliran darah/tekanan
darah deras sehingga system pencernaan terganggu. Cairan pencernaan atau getah
lambung terpengaruh oleh gangguan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan
relaks berfungsi sebagai alat pembantu mencerna, sedangkan perasaan tidak enak
atau tertekan menghambat atau menggangu pencernaan.
Diantra rangsangan yang meningkatkan kegiatan kelenjar sekresi dari getah
lambung adalah ketakutan-ketakutan yang akut atau kronis. Kegembiraan yang
berlebihan, kecemasan, dan kehawatiran menyebabkan menurunya kegiatan system
pencernaan dan kadang-kadang menimbulkan sembelit. Satu-satunya cara
penyembuhan yang efektif adalah menghilangkan penyebab ketegangan emosi. Radang
pada lambung tidak busa disembuhkan, demikian pula diare dan sembelit, jika
factor-faktor yang menyebabkan munculnya emosi tidak dihilangkan.
Gangguan emosi juga dapat menyebabkan kesulitan berbicara. Ketergantungan
emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seseorang yang
agagap sering dapat normal berbicara jika dalam keadaan relaks atau senang.
Namun, jika dia dihadapkan pada situasi-situasi yang menyebabkan kebingungan
maka akan menunjukan kegagapannya.
Perilaku ketakutan, malu-malu atau agresif dapat disebabkan ketegangan emosi
atau frustasi. Karena reaksi kita berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita
jumpai maka timbul emosi tertentu. Seorang siswa bisa saja tidak senang kepada
gurunya bukan karena pribadi guru, tetapi karena sesuatu yang terjadi pada
situasi belajar dikelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menjawab soal
tes lisan, pada kesempatan lain, ia mungkin menjadi takut ketika menghabisi tes
tertulis. Akibatnya, ia memutuskan membolos, atau mungkin melakukan kegiatan
yang lebih buruk lagi, yaitu melarikan diri dari orang tua, guru, atau dari
otoritas lain.
Dengan demikian, gangguan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas
belajar seseorang. Seorang anak disekolah akan belajar lebih giat dan efektif
bila ada motivasi. Selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk menguasai
bahan yang dipelajari. Rasa senang karena berhasil mencapai prestasi akan
mengurangi rasa takut dan kelelahan. Karena reksi setiapsiswa tidak sama,
rangsangan untuk belajar yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi
emosional anak. Rangsangan-rangsangan perasaan tidak menyenangkan akan
mempengaruhi hasil belajar dan sebaliknya rangsangan yang menghasilkan perasaan
menyenangkan akan mempermudah dan meningkatkan motivasi belajar.
Nurihsan (2007:155) berpendapat dimensi-dimensi emosional dapat
diidentifikasikan pengaruh dan manifestasinya kedalam berbagai kecenderungan
bentuk perilaku seperti sikap-sikapnya untuk menolak-menerima,
mendekati-menjauhi, berbuat atau tidak berbuat (diam), menghargai-tidak
menghargai, mempercayai-tidak mempercayai, bahkan lebih dalam lagi
meyakini-tidak meyakini terhadap objek-objek (termasuk dirinya) baik nyang bersifat
material maupun non material atau manusiawi dan non-manusiawi.
Goleman (1995)
mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi
individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
belajar-mengajar ataupun kegiatan lainnya.
a. Mengendalikan emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan
dasar kecerdasan emosikonal. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan
perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman
tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat
diri berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang
sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar terungkap dengan tepat.Hal ini
merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan
berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat
melepas kecemasan, kemurungan atau ketersiggungan dan bangkit kembali dengan
cepat. Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan
terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada
hal-hal yang negatif yang merugikan dirinya sendiri.
c. Memotivasi diri
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal berikut:
a. cara mengendalikan dorongan hati;
b. derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang;
c. kekuatan berpikir positif;
d. optimisme;
e. keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang
sepenuhnya tercurah kepada apa yang sedang terjadi, pekerjaannya, hanya
terpokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri, seseorang cenderung
memilikipandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam
dirinya.
d. Mengenali emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan kesadaran diri. Jika
seseorang terbuka pada emosi sendiri, ia akan terampil membaca perasaan orang
lain. Sebaliknya, apabila seseorang tidak mampu menhyesuaikan diri dengan
emosinya sendiri, ia tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain.
Seni dalam menjaga hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan social
yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.
Pentingnya Kognitif oleh anak Usia dini
pada aspek
kognitif perkembangan anak nampak pada
kemampuannya dalam menerima , mengelola, dan memahami informasi informasi yang
sampai kepadanya . kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa
maupun berbahasa lisan dan isyarat, memahami kata dan berbicara.
Pentingnya Fisik oleh anak usia dini
Perkembangan
Fisik Anak Usia Dini
Sebagai
seorang anak dewasa, orang tua menantikan tonggak penting seperti belajar
bagaimana untuk berguling dan merangkak. Masing-masing merupakan bagian dari
proses perkembangan fisik. Proses pematangan terjadi secara teratur, yaitu
kemampuan keterampilan tertentu dan umumnya terjadi sebelum mencapai tonggak
lainnya.
Sebagai
contoh, kebanyakan bayi belajar merangkak sebelum mereka belajar berjalan.
Namun, juga penting untuk menyadari bahwa tingkat di mana tonggak ini dicapai
dapat bervariasi. Beberapa anak belajar berjalan lebih cepat dari teman sebaya
mereka yang sama-usia, sementara yang lain mungkin diperlukan waktu sedikit
lebih lama.
Tahapan Perkembangan
Fisik Anak Usia Dini
Pengembangan
Keterampilan
Sebagai
seorang anak tumbuh, sistem saraf-nya menjadi lebih matang. Karena ini terjadi,
anak menjadi lebih dan lebih mampu melakukan tindakan yang semakin kompleks.
Tingkat di mana keterampilan motorik muncul kadang-kadang merupakan
kekhawatiran bagi orang tua. Pengasuh sering khawatir tentang apakah anak-anak
mereka mengembangkan keterampilan-keterampilan pada tingkat normal. Sebagaimana
disebutkan di atas, harga mungkin agak berbeda. Namun, hampir semua anak-anak mulai memperlihatkan keterampilan
motorik ini pada tingkat yang cukup konsisten kecuali beberapa jenis kecacatan
hadir.
Ada dua
jenis keterampilan motorik:
- Bruto (atau besar) keterampilan motorik melibatkan otot-otot yang lebih besar termasuk
lengan dan kaki. Tindakan yang membutuhkan keterampilan motorik kasar
meliputi berjalan, berlari, keseimbangan dan koordinasi. Ketika
mengevaluasi keterampilan motorik kasar, faktor-faktor yang termasuk ahli
melihat kekuatan, otot, kualitas gerakan dan berbagai gerakan.
- Fine (atau kecil) keterampilan motorik melibatkan otot kecil di jari, jari kaki, mata
dan daerah lainnya. Tindakan yang memerlukan keterampilan motorik halus
cenderung lebih rumit, seperti menggambar, menulis, memegang benda,
melempar, melambai dan penangkapan.
Pertumbuhan
Fisik
- Otot besar berkembang sebelum otot kecil tangan. Otot tubuh dalam inti, kaki dan tangan
berkembang sebelum mereka di jari dan. Anak-anak belajar bagaimana
melakukan bruto (atau besar) keterampilan motorik seperti berjalan sebelum
mereka belajar untuk melakukan denda (atau kecil) keterampilan motorik
seperti menggambar.
- Pusat tubuh berkembang sebelum daerah luar. Otot terletak di inti tubuh menjadi lebih kuat
dan mengembangkan lebih cepat dari yang di kaki dan tangan.
- Pembangunan berjalan dari atas ke bawah, dari
kepala ke jari kaki. Inilah
sebabnya mengapa bayi belajar untuk menahan kepala mereka sebelum mereka
belajar cara merangkak.
Mungkin ini tidak dikatakan sempurna tapi kami sekelompok berusaha untuk
mencapai yang lebih baik.
^^
Terima kasih…
Sumber Oleh :
Cahyani Ani. Mubin,
Psikologi perkembangan; cet I (Quantum Teaching, Ciputat Press Group, 2006).
Hurlock B Elizabeth, Developmental
Psikologi; Mc Grow Hill, Inc, 1980, Alih Bahasa, Istiwidayanti dan suedjarwo,
Psikologi Perkembangan suatu pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta,
Erlangga, tt.
LN Yusuf Syamsu; Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nurihsan Juntika, 2007, Buku Materi Pokok
Perkembangan Peserta didik , Bandung; Sekolah Pasca Sarjana (UPI)
Santrock, John W, Life-Span Development,
WM, C Brown Comunication, Inc, 1995, Alih bahasa Achmad Chusairi, S.PSI,
Perkembangan Masa Hidup Jilid I, Jakarta, Erlangga, 2002.
Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan;
(PT Raja Grafindo, : 2004).