Intelegensi menurut Brown
dan Borkowski
Intelegensi
adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan
belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Minat terhadap intelejensi sering kali
difokuskan pada perbedaan individual dan penilaian individual.
Inteligensi berasal dari bahasa Latin
yaitu intelligentia yang berarti kekuatan akal manusia. Terdapat beragam
definisi inteligensi yang seringkali mengartikannya sebagai kecerdasan,
kepandaian, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Inteligensi
merupakan status mental yang tidak memerlukan definisi, sedangkan perilaku
inteligentif lebih konkrit batasan dan ciri-cirinya, sehingga lebih bermanfaat
untuk dipelajari (Azwar, 2004). Inteligensi bisa diartikan sebagai salah satu
kemampuan mental, pikiran, atau intelektual manusia, dan bagian dari
proses–proses kognitif pada urutan yang lebih tinggi (high cognition level).
menunjukkan potensi teori intelijen dalam
membimbingpengembangan program pendidikan bagi cacat mental. ModelCampione-Brown digunakan untuk menyimpulkan keterampilan,negara, dan proses anak-anak cacat mental dan cacat mentalsangat trainable yang dimodifikasi dan untuk menargetkan tujuanuntuk intervensi pendidikan. Integrasi komponen dalam sistemarsitektur dan eksekutif, seperti efisiensi persepsi, strategi, dannegara pengetahuan, merupakan kecerdasan fungsional.Komponen trainable intelijen dapat berfungsi sebagai tujuan dalam perencanaan pendidikan, sedangkan identifikasi keterbatasanstruktural mengarah ke pemrograman lingkungan untuk memenuhiefisiensi berkurang atau untuk sistem pendukung berkembang, seperti diri instruksional rutinitas. Singkatnya,
hubungan timbal
balikdisarankan untuk muncul teori kecerdasan dan mengubah praktek-praktek pendidikan.
Menurut English & English dalam bukunya “A Comprehensive Dictionary of Psichological and Psychoalitical Terms”, istilah intellecct berarti antara lain : (1) Kekuataan mental dimana manusia dapat berpikir; (2) suatu rumpun nama untuk proses kognitif, terutama untuk aktivitas yang berkenaan dengan berpikir ( misalnya menghubungkan, menimbang, dan memahami); dan (3) kecakapan, terutama kecakapan yang tinggi untuk berpikir.
Beragam tes untuk mengukur inteligensi telah dibuat sejak sembilan dekade lalu, tetapi sejauh ini belum ada definisi yang dapat diterima secara universal. Konsep mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang banyak disetujui, tetapi apa saja yang termasuk dalam pengertian kemampuan mental itu sendiri masih diperdebatkan.
Galton, seorang psikolog, menyatakan bahwa ada dua karakteristik yang hanya dimiliki oleh individu berinteligensi tinggi yang membedakannya dari orang-orang yang berinteligensi rendah, yaitu energi/ kemampuan untuk bekerja dan kepekaan terhadap stimulus fisik. Definisi Galton ini merupakan pendekatan berciri psikofisik.
Oleh karena intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional, maka inteligensi sebenarnya tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri intelegensi yaitu :
1)Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional (intelegensi dapat diamati secara langsung).
2)Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul.
B.Diferensiasi dan
Teori Inteligensi
1)Trilogi
Inteligensi
Konsep trilogi inteligensi mengemukakan bahwa ada tiga jenis kecerdasan yang integral yaitu: (a) Kecerdasan intelektual (IQ), (b) Kecerdasan emosional (EQ), dan (c) Kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan intelektual pada umumnya menyatakan kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memori), daya nalar (reasoning), perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Pada tahun 1995an, berdasar berbagai hasil penelitian para pakar Psikologi dan Neurologi, Konsep kecerdasan spiritual ini mengatakan bahwa ada God Spot pada otak manusia yang menunjukkan aktivitas yang intensif bila berbicara dan memikirkan hal-hal spiritual. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kecerdasan spiritual tidak sama dengan beragama dan tidak perlu berkaitan dengan agama formal. Mungkin bagi sebagian orang, SQ terungkap melalui agama formal yang dianutnya, tetapi beragama tidak selalu menjamin adanya SQ yang tinggi. Dalam kenyataannya, banyak kaum humanis atau atheis yang memiliki SQ tinggi, sementara sebaliknya tidak jarang orang yang aktif atau taat beragam SQ-nya rendah.
Konsep trilogi inteligensi mengemukakan bahwa ada tiga jenis kecerdasan yang integral yaitu: (a) Kecerdasan intelektual (IQ), (b) Kecerdasan emosional (EQ), dan (c) Kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan intelektual pada umumnya menyatakan kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memori), daya nalar (reasoning), perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Pada tahun 1995an, berdasar berbagai hasil penelitian para pakar Psikologi dan Neurologi, Konsep kecerdasan spiritual ini mengatakan bahwa ada God Spot pada otak manusia yang menunjukkan aktivitas yang intensif bila berbicara dan memikirkan hal-hal spiritual. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kecerdasan spiritual tidak sama dengan beragama dan tidak perlu berkaitan dengan agama formal. Mungkin bagi sebagian orang, SQ terungkap melalui agama formal yang dianutnya, tetapi beragama tidak selalu menjamin adanya SQ yang tinggi. Dalam kenyataannya, banyak kaum humanis atau atheis yang memiliki SQ tinggi, sementara sebaliknya tidak jarang orang yang aktif atau taat beragam SQ-nya rendah.
2)Teori Faktor
Teori ini dikembangkan oleh brown dan borkowski. Beliau mengembangkan teori dua faktor dalam kemampuan mental manusia, yaitu :
a)Teori faktor “g” (faktor kemampuan umum). Faktor G berhubungan dengan kemampuan menyelesaikan masalah atau tugas–tugas secara umum misalnya, kemampuan menyelesaikan soal–soal matematika.
b)Teori faktor “s” (faktor kemampuan khusus). Faktor S berhubungan dengan kemampouan menyelesaikan masalah atau tugas-tugas secara khusus misalnya, mengerjakan soal – soal perkalian, atau penambahan dalam matematika.
Teori ini dikembangkan oleh brown dan borkowski. Beliau mengembangkan teori dua faktor dalam kemampuan mental manusia, yaitu :
a)Teori faktor “g” (faktor kemampuan umum). Faktor G berhubungan dengan kemampuan menyelesaikan masalah atau tugas–tugas secara umum misalnya, kemampuan menyelesaikan soal–soal matematika.
b)Teori faktor “s” (faktor kemampuan khusus). Faktor S berhubungan dengan kemampouan menyelesaikan masalah atau tugas-tugas secara khusus misalnya, mengerjakan soal – soal perkalian, atau penambahan dalam matematika.
3)Teori Struktural
Intelektual
Teori ini dikembangkan oleh brown dan borkowski, yang menyatakan bahwa tiap-tiap kemampuan memiliki jenis keunikan tersendiri dalam aktivitas mental atau pikiran (operation), isi informasi (content), dan hasil informasi (product). Operasi berkaitan dengan aktivitas mencari, menemukan, mengetahui dan memahami informasi. Misalnya mengetahui makna kata “adil” atau “krisis”. Konten terdiri atas 3 yaitu: (a) aisual yaitu informasi–informasi yang muncul secara langsung dari stimulasi yang diterina oleh mata, (b) auditori yakni informasi–informasi yang muncul secara langsung dari stimulasi yang diterina oleh sistem pendengaran (telinga), (c) simbolis yaitu item–item informasi yang tersusun urut bersamaan dengan iem–item yang lain. Misalnya sederet angka, huruf abjad dan kombinasinya, (d) sematik yang biasanya berhubungan dengan makna atau arti tetapi tidak melekat pada simbol kata-kata, (e) behavioral yakni item informasi mengenai keadaan mental dan perilaku individuu yang dipindahkan melalui tindakan dan bahasa tubuh. Product (bentuk informasi yang dihasilkan) yaitu unit kesatuan yang memiliki suatu keunuikan di dalam kombinasi sifat dan atributnya, contoh bunyi musik, cetakan kata.
Teori ini dikembangkan oleh brown dan borkowski, yang menyatakan bahwa tiap-tiap kemampuan memiliki jenis keunikan tersendiri dalam aktivitas mental atau pikiran (operation), isi informasi (content), dan hasil informasi (product). Operasi berkaitan dengan aktivitas mencari, menemukan, mengetahui dan memahami informasi. Misalnya mengetahui makna kata “adil” atau “krisis”. Konten terdiri atas 3 yaitu: (a) aisual yaitu informasi–informasi yang muncul secara langsung dari stimulasi yang diterina oleh mata, (b) auditori yakni informasi–informasi yang muncul secara langsung dari stimulasi yang diterina oleh sistem pendengaran (telinga), (c) simbolis yaitu item–item informasi yang tersusun urut bersamaan dengan iem–item yang lain. Misalnya sederet angka, huruf abjad dan kombinasinya, (d) sematik yang biasanya berhubungan dengan makna atau arti tetapi tidak melekat pada simbol kata-kata, (e) behavioral yakni item informasi mengenai keadaan mental dan perilaku individuu yang dipindahkan melalui tindakan dan bahasa tubuh. Product (bentuk informasi yang dihasilkan) yaitu unit kesatuan yang memiliki suatu keunuikan di dalam kombinasi sifat dan atributnya, contoh bunyi musik, cetakan kata.
4)Teori Kognitif
Teori ini dikembangkan oleh Sternberg. Menurutnya, inteligensi dapat dianalisis kedalam beberapa komponen yang dapat membantu seseorang untuk memecahkan masalahnya, yaitu:
a)Metakomponen yaitu proses pengendalian yang terletak pada urutan lebih tinggi yang digunakan untuk melaksanakan rencana, memonitor, dan mengevaluasi kinerja dalam suatu tugas.
b)Komponen kinerja yaitu proses–proses pada urutan lebih rendah yang digunakan untuk melaksanakan berbagai strategi bagi kinerja dalam tugas.
c)Komponen perolehan pengetahuan yaitu proses–proses yang terlibat dalam mempelajari informasi baru dan penyimpanannya dalam ingatan.
Teori ini dikembangkan oleh Sternberg. Menurutnya, inteligensi dapat dianalisis kedalam beberapa komponen yang dapat membantu seseorang untuk memecahkan masalahnya, yaitu:
a)Metakomponen yaitu proses pengendalian yang terletak pada urutan lebih tinggi yang digunakan untuk melaksanakan rencana, memonitor, dan mengevaluasi kinerja dalam suatu tugas.
b)Komponen kinerja yaitu proses–proses pada urutan lebih rendah yang digunakan untuk melaksanakan berbagai strategi bagi kinerja dalam tugas.
c)Komponen perolehan pengetahuan yaitu proses–proses yang terlibat dalam mempelajari informasi baru dan penyimpanannya dalam ingatan.
5)Teori
Inteligensi ABC
Dua psikolog Belanda, Wilma C. M. Resing dari Universitas Leiden, dan Pieter J. D. Drenth seorang guru besar psikologi dari Vrije Universiteit Amsterdam, dalam bukunya Intelligentie, weten & meten (Inteligensi, memahami dan mengukurnya) tahun 2001, menjelaskan bahwa ada tiga bentuk inteligensi, yaitu inteligensi A, inteligensi B, dan inteligensi C.
Inteligensi A, biasa disebut sebagai the gentophype of intelligence, yaitu potensi bawaan yang berada di gen yang tidak bisa diukur dan tidak bisa diobeservasi, dan hanya merupakan bentuk hipotesis serta hanya dalam bentuk pemahaman, yaitu pemahaman dari hasil-hasil penelitian terhadap karakteristik orang-orang yang mempunyai keterkaitan genetik. Hingga saat ini, gen mana yang membawa sifat inteligensi tertentu (melalui penelitian biologi molekuler) dari seseorang masih belum dapat diketemukan, karena inteligensi bukan atas pengaruh satu sifat bawaan, tetapi oleh pengaruh sifat bawaan yang majemuk. Maksudnya, genetik marker-nya banyak, dan akan berupa mozaik dari satu ke orang ke orang lain.
Inteligensi B, yaitu yang biasa disebut sebagai the phenothype of intelligence, merupakan bentuk inteligensi yang dapat diamati sehari-hari. Ini merupakan hasil interaksi antara genetik dan lingkungan (pengasuhan, pendidikan, dan budaya). Inteligensi B ini juga merupakan cognitive ability atau kemampuan seseorang pada saat-saat tertentu dalam bereaksi terhadap sitimulus dari lingkungannya. Hasilnya dapat dilihat juga dalam prestasi sekolah, prestasi kerja, dan sebagainya.
Inteligensi C, merupakan inteligensi yang diukur melalui tes inteligensi, misalnya IQ tes. Artinya inteligensi bentuk ini merupakan inteligensi yang terukur dengan sebuah tes. Inteligensi C ini dapat menjelaskan inteligensi B dan setidaknya juga mampu memberikan gambaran tentang situasi genetiknya (inteligensi A).
Dalam berbagai definisi inteligensi, para ilmuwan psikologi tidak pernah menyinggung inteligensi A, namun yang didefenisikan merupakan pemahaman dari inteligensi B, dan C yang dapat diukur, tetapi jika mengikuti diskusi-diskusi di lapangan seringkali justru membuat bingung, sebab seringkali ada pernyataan bahwa inteligensi tidak dapat diukur, karena inteligensi itu genetis. Biasanya yang menggunakan dalil ini adalah kelompok yang ingin berusaha menisbikan IQ, dan menggunakan pemahaman lain tentang inteligensi, bentuk yang tidak mengukur inteligensi (IQ), yaitu inteligensi ganda dari Howard Gardner. Sebab genetik sifatnya statis, tidak bisa berubah begitu saja.
Sekalipun dalam berbagai pembahasan inteligensi dalam psikologi selalu saja hanya membahas inteligensi B atau C, tetapi dalam forum-forum informasi yang mengatasnamakan parenting, pendidikan yang mencerdaskan, nutrisi, maupun stimulasi dini, selalu saja yang diungkit-ungkit adalah inteligensi A yang memang tidak dapat diukur.
Drenth dalam bukunya itu, Intelligentie, Weten en Meten (2001), menyakatakan bahwa untuk merubah cognitive ability (inteligensi B) seseorang, memang harus merubah struktur otak agar lebih baik dengan cara memberikan nurturing yang lebih baik (nutrisi, stimulasi, dan pendidikan), namun tetap bahwa genetiknya tidak dapat berubah. Genetik hanya dapat berubah setelah bergenerasi-generasi. Artinya, sumbangan upaya tadi tidak bisa bergerak jauh dari blue print genetik yang diturunkan oleh orangtuanya. Sebab, genetik sifatnya statis, tidak bisa berubah begitu saja.
Dua psikolog Belanda, Wilma C. M. Resing dari Universitas Leiden, dan Pieter J. D. Drenth seorang guru besar psikologi dari Vrije Universiteit Amsterdam, dalam bukunya Intelligentie, weten & meten (Inteligensi, memahami dan mengukurnya) tahun 2001, menjelaskan bahwa ada tiga bentuk inteligensi, yaitu inteligensi A, inteligensi B, dan inteligensi C.
Inteligensi A, biasa disebut sebagai the gentophype of intelligence, yaitu potensi bawaan yang berada di gen yang tidak bisa diukur dan tidak bisa diobeservasi, dan hanya merupakan bentuk hipotesis serta hanya dalam bentuk pemahaman, yaitu pemahaman dari hasil-hasil penelitian terhadap karakteristik orang-orang yang mempunyai keterkaitan genetik. Hingga saat ini, gen mana yang membawa sifat inteligensi tertentu (melalui penelitian biologi molekuler) dari seseorang masih belum dapat diketemukan, karena inteligensi bukan atas pengaruh satu sifat bawaan, tetapi oleh pengaruh sifat bawaan yang majemuk. Maksudnya, genetik marker-nya banyak, dan akan berupa mozaik dari satu ke orang ke orang lain.
Inteligensi B, yaitu yang biasa disebut sebagai the phenothype of intelligence, merupakan bentuk inteligensi yang dapat diamati sehari-hari. Ini merupakan hasil interaksi antara genetik dan lingkungan (pengasuhan, pendidikan, dan budaya). Inteligensi B ini juga merupakan cognitive ability atau kemampuan seseorang pada saat-saat tertentu dalam bereaksi terhadap sitimulus dari lingkungannya. Hasilnya dapat dilihat juga dalam prestasi sekolah, prestasi kerja, dan sebagainya.
Inteligensi C, merupakan inteligensi yang diukur melalui tes inteligensi, misalnya IQ tes. Artinya inteligensi bentuk ini merupakan inteligensi yang terukur dengan sebuah tes. Inteligensi C ini dapat menjelaskan inteligensi B dan setidaknya juga mampu memberikan gambaran tentang situasi genetiknya (inteligensi A).
Dalam berbagai definisi inteligensi, para ilmuwan psikologi tidak pernah menyinggung inteligensi A, namun yang didefenisikan merupakan pemahaman dari inteligensi B, dan C yang dapat diukur, tetapi jika mengikuti diskusi-diskusi di lapangan seringkali justru membuat bingung, sebab seringkali ada pernyataan bahwa inteligensi tidak dapat diukur, karena inteligensi itu genetis. Biasanya yang menggunakan dalil ini adalah kelompok yang ingin berusaha menisbikan IQ, dan menggunakan pemahaman lain tentang inteligensi, bentuk yang tidak mengukur inteligensi (IQ), yaitu inteligensi ganda dari Howard Gardner. Sebab genetik sifatnya statis, tidak bisa berubah begitu saja.
Sekalipun dalam berbagai pembahasan inteligensi dalam psikologi selalu saja hanya membahas inteligensi B atau C, tetapi dalam forum-forum informasi yang mengatasnamakan parenting, pendidikan yang mencerdaskan, nutrisi, maupun stimulasi dini, selalu saja yang diungkit-ungkit adalah inteligensi A yang memang tidak dapat diukur.
Drenth dalam bukunya itu, Intelligentie, Weten en Meten (2001), menyakatakan bahwa untuk merubah cognitive ability (inteligensi B) seseorang, memang harus merubah struktur otak agar lebih baik dengan cara memberikan nurturing yang lebih baik (nutrisi, stimulasi, dan pendidikan), namun tetap bahwa genetiknya tidak dapat berubah. Genetik hanya dapat berubah setelah bergenerasi-generasi. Artinya, sumbangan upaya tadi tidak bisa bergerak jauh dari blue print genetik yang diturunkan oleh orangtuanya. Sebab, genetik sifatnya statis, tidak bisa berubah begitu saja.
6)Teori
Inteligensi Majemuk
Teori ini dikembangkan oleh Howard Gadner, dalam teorinya ia menyebutkan ada 7 macam inteligensi, yaitu:
a)Kecerdasan linguistik, yang berkaitan dengan kemampuan bahasa dan penggunaannya. Kecerdasan ini terlihat dari penggunaan bahasa, keahlian membaca dan menulis, ketertarikan dengan suara, arti, dan narasi.
b)Kecerdasan logik-matematis, yang berhubungan dengan pola, rumus-rumus, angka-angka serta logika. Kecerdasan ini terlihat dari keahlian dalam teka-teki, gambar, aritmatika, dan memecahkan masalah matematika, pengoperasian komputer, dan pemrograman.
c)Kecerdasan musikal, yang berkaitan dengan musik, melodi, ritme, dan nada. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian membuat musik dan sensitivitas terhadap musik dan melodi, pemaknaan mendalam musikal, dan mencipta lagu serta musik.
d)Kecerdasan tubuh-kinestetik, yang berhubungan dengan pergerakan dan ketrampilan olah tubuh. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian mekanis tubuh dan meniru mimik.
e)Kecerdasan spasial, yang berhubungan dengan bentuk, lokasi, dan membayangkan hubungan di antaranya. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian perancangan desain, pembacaan peta, diagram, atau bagan.
f)Kecerdasan interpersonal, yang berhubungan dengan kemampuan memahami dan menghadapi perasaan orang lain. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian berkomunikasi dan mengorganisasi, serta sifat sosial.
g)Kecerdasan intrapersonal, yang berhubungan dengan memahami diri sendiri. Kecerdasan ini ditandai dengan kemandirian dan kegemaran menekuni aktivitas sendirian, rasa percaya diri, dan argumentatif.
Teori ini dikembangkan oleh Howard Gadner, dalam teorinya ia menyebutkan ada 7 macam inteligensi, yaitu:
a)Kecerdasan linguistik, yang berkaitan dengan kemampuan bahasa dan penggunaannya. Kecerdasan ini terlihat dari penggunaan bahasa, keahlian membaca dan menulis, ketertarikan dengan suara, arti, dan narasi.
b)Kecerdasan logik-matematis, yang berhubungan dengan pola, rumus-rumus, angka-angka serta logika. Kecerdasan ini terlihat dari keahlian dalam teka-teki, gambar, aritmatika, dan memecahkan masalah matematika, pengoperasian komputer, dan pemrograman.
c)Kecerdasan musikal, yang berkaitan dengan musik, melodi, ritme, dan nada. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian membuat musik dan sensitivitas terhadap musik dan melodi, pemaknaan mendalam musikal, dan mencipta lagu serta musik.
d)Kecerdasan tubuh-kinestetik, yang berhubungan dengan pergerakan dan ketrampilan olah tubuh. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian mekanis tubuh dan meniru mimik.
e)Kecerdasan spasial, yang berhubungan dengan bentuk, lokasi, dan membayangkan hubungan di antaranya. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian perancangan desain, pembacaan peta, diagram, atau bagan.
f)Kecerdasan interpersonal, yang berhubungan dengan kemampuan memahami dan menghadapi perasaan orang lain. Kecerdasan ini ditandai dengan keahlian berkomunikasi dan mengorganisasi, serta sifat sosial.
g)Kecerdasan intrapersonal, yang berhubungan dengan memahami diri sendiri. Kecerdasan ini ditandai dengan kemandirian dan kegemaran menekuni aktivitas sendirian, rasa percaya diri, dan argumentatif.
C.Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Inteligensi
Wechsler
berpendapat bahwa keseluruhan intelegensi seseorang tidak dapat diukur. IQ
adalah suatu nilai yang hanya dapat ditentukan secara kira-kira karena selalu
dapat terjadi perubahan-perubahan berdasarkan faktor-faktor individual dan
situasional.
1)Faktor Bawaan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50, sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40-0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 – 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
2)Faktor lingkungan
Sekalipun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Penelitian tentang pengaruh pendidikan terhadap IQ telah dilaporkan oleh Wellman (1945) berdasarkan 50 kasus studi. Rata-rataa tingkat IQ asal subjek adalah da atas 110. Mereka yang mengalami prasekolah sebelum sekolah dasar, menunjukan perbedaan kemajuan atau ”gained”, dalam rata-rata IQ mereka lebih besar daripada mereka yang tidak mengalami prasekolah. Perbedaan kemajuan nilai rata-rata IQ bagi mereka yang baru satu tahun saja belajar (bersekolah pada pra-sekolah) adalah 5,4 skala IQ perseorang siswa. Angka ini jauh lebih tinggi daripada siswa-siswa yng tidak memasuki prasekolah sebelumnya, yaitu menunjukan rata-rata hanya mengalami perubahan nilai I hanya sebesar 0,5 skala IQ perseorang siswa.
1)Faktor Bawaan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50, sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40-0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 – 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
2)Faktor lingkungan
Sekalipun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Penelitian tentang pengaruh pendidikan terhadap IQ telah dilaporkan oleh Wellman (1945) berdasarkan 50 kasus studi. Rata-rataa tingkat IQ asal subjek adalah da atas 110. Mereka yang mengalami prasekolah sebelum sekolah dasar, menunjukan perbedaan kemajuan atau ”gained”, dalam rata-rata IQ mereka lebih besar daripada mereka yang tidak mengalami prasekolah. Perbedaan kemajuan nilai rata-rata IQ bagi mereka yang baru satu tahun saja belajar (bersekolah pada pra-sekolah) adalah 5,4 skala IQ perseorang siswa. Angka ini jauh lebih tinggi daripada siswa-siswa yng tidak memasuki prasekolah sebelumnya, yaitu menunjukan rata-rata hanya mengalami perubahan nilai I hanya sebesar 0,5 skala IQ perseorang siswa.
D.Analisis Penyaji
Makalah Mengenai Perkembangan Inteligensi Manusia
Deskripsi
perkembangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan
berdasarkan hasil laporan berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes
inteligensi sebagai alat ukurnya, yang dilakukan secara longitudinal terhadap
sekelompok subjek dari dan sampai ketingkatan usia tertentu secara tes-retes
yang alat ukurnya disusun secara sekuensial (Standfort revision Benet Test).
Dengan menggunakan hasil pengukuran test inteligensi yang mencakup general (Infomation and Verbal Analogies), Jones and Conrad (Loree, 1970) telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan Inteligensi, yang dapat di tafsirkan anatara lain sebagai berikut :
a)Laju perkembangan inteligensi pada masa remaja berlangsung sangat pesat.
b)Terdapat variasi dalam saat dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu (Juntika N, 137-138).
Ditinjau dari perkembangan kogninif menurut Piaget, masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi= kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan). Remaja, secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak dengan kata lain, berpikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah dari pada berpikir konkret.
Sementara proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaannya dari mulai usia 12–20 tahun. Pada usia 16 tahun, berat otak sudah menyamai orang dewasa. Sistem saraf yang memproses informasi berkembang secara cepat pada usia ini. Pada masa remaja, terjadi reorganisasi lingkaran saraf, lobe frontal, yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi, yaitu merumuskan perencanaan strategis, atau mengambil keputusan. Lobe frontal ini terus berkembang terus sampai usia 20 tahun atau lebih.
Perkembangan lobe frontal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan inteligensi remaja, seperti pada usia 12 tahun, walaupun secara intelektual remaja itu termasuk anak berbakat atau pintar. Namun, belum bijaksana, maksudnya remaja tersebut mampu memecahkan masalah secara benar, tetapi tidak seterampil remaja yang lebih tua usianya yang menunjukkan wawasan atau perspektif yang luas terhadap masalah tersebut (Sigelman & Shaffer, 1995) Pada periode konkret, anak mungkin mengartikan sistem keadilan dikaitkan dengan polisi atau hakim, sedangkan remaja mengartikannya sesuatu yang abstrak, yaitu sebagai suatu aspek kepedulian pemerintah terhadap hak-hak warga masyarakat yang mempunyai interest remaja.
Dalam hubungannya dengan perkembangan intelegensi/ kemampuan berpikir, ada yang berpandangan bahwa adalah keliru jika IQ dianggap bisa ditingkatkan, yang walaupun perkembangan IQ dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Menurut Andi Mappiare (1982), hal-hal yang mempengaruhi perkembangan inteligensi antara lain:
a)Bertabahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang, sehingga ia mampu berpikr reflektif.
b)Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah, sehingga seseorang bisa berpikir proporsional.
c)Adanya kebebasan berpikir, menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan, dan menunjang keberanian anak memecahkan masalahdan menarik kesimpulan yang baru dan benar.
Dua kondisi di atas sesuai dengan dasar-dasar teori Piaget mengenai perkembangan intelegensi, yakni:
a)Fungsi intelegensi termasuk proses adaptasi yang bersifat biologis.
b)Berkembangnya usia menyebabkan berkembangnya struktur intelegensi baru, sehingga pengaruh pula terhadap terjadinya perubahan kualitatif.
Dengan menggunakan hasil pengukuran test inteligensi yang mencakup general (Infomation and Verbal Analogies), Jones and Conrad (Loree, 1970) telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan Inteligensi, yang dapat di tafsirkan anatara lain sebagai berikut :
a)Laju perkembangan inteligensi pada masa remaja berlangsung sangat pesat.
b)Terdapat variasi dalam saat dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu (Juntika N, 137-138).
Ditinjau dari perkembangan kogninif menurut Piaget, masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi= kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan). Remaja, secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak dengan kata lain, berpikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah dari pada berpikir konkret.
Sementara proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaannya dari mulai usia 12–20 tahun. Pada usia 16 tahun, berat otak sudah menyamai orang dewasa. Sistem saraf yang memproses informasi berkembang secara cepat pada usia ini. Pada masa remaja, terjadi reorganisasi lingkaran saraf, lobe frontal, yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi, yaitu merumuskan perencanaan strategis, atau mengambil keputusan. Lobe frontal ini terus berkembang terus sampai usia 20 tahun atau lebih.
Perkembangan lobe frontal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan inteligensi remaja, seperti pada usia 12 tahun, walaupun secara intelektual remaja itu termasuk anak berbakat atau pintar. Namun, belum bijaksana, maksudnya remaja tersebut mampu memecahkan masalah secara benar, tetapi tidak seterampil remaja yang lebih tua usianya yang menunjukkan wawasan atau perspektif yang luas terhadap masalah tersebut (Sigelman & Shaffer, 1995) Pada periode konkret, anak mungkin mengartikan sistem keadilan dikaitkan dengan polisi atau hakim, sedangkan remaja mengartikannya sesuatu yang abstrak, yaitu sebagai suatu aspek kepedulian pemerintah terhadap hak-hak warga masyarakat yang mempunyai interest remaja.
Dalam hubungannya dengan perkembangan intelegensi/ kemampuan berpikir, ada yang berpandangan bahwa adalah keliru jika IQ dianggap bisa ditingkatkan, yang walaupun perkembangan IQ dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Menurut Andi Mappiare (1982), hal-hal yang mempengaruhi perkembangan inteligensi antara lain:
a)Bertabahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang, sehingga ia mampu berpikr reflektif.
b)Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah, sehingga seseorang bisa berpikir proporsional.
c)Adanya kebebasan berpikir, menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan, dan menunjang keberanian anak memecahkan masalahdan menarik kesimpulan yang baru dan benar.
Dua kondisi di atas sesuai dengan dasar-dasar teori Piaget mengenai perkembangan intelegensi, yakni:
a)Fungsi intelegensi termasuk proses adaptasi yang bersifat biologis.
b)Berkembangnya usia menyebabkan berkembangnya struktur intelegensi baru, sehingga pengaruh pula terhadap terjadinya perubahan kualitatif.
E.Pengukuran
Inteligensi
Skor Inteligensi
(IQ) mulanya diukur dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur
kronologis (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut
sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat
itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan
100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Skor inteligensi digambarkan
keadaan kurva lonceng, yaitu keadaan tengah merupakan kelompok individu
terbanyak.
Akan tetapi,
kemudian timbul masalah, karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi
perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, yaitu 2 orang psikolog Prancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai), karena pada saat itu Prancis menghabiskan banyak dana untuk pendidikan dan hasilnya kurang memuaskan. Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, yaitu 2 orang psikolog Prancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai), karena pada saat itu Prancis menghabiskan banyak dana untuk pendidikan dan hasilnya kurang memuaskan. Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Sumber : Educational Implications of
Efforts To Train Intelligence
Tidak ada komentar:
Posting Komentar